💥 Timnas Indonesia resmi mengakhiri mimpi Piala Dunia 2026 setelah menelan dua kekalahan beruntun (2-3 dari Arab Saudi dan 0-1 dari Irak). Gagalnya Skuad Garuda ini berujung pada perpisahan dengan Patrick Kluivert. Namun, masalah utama timnas ternyata bukan hanya soal pelatih, tetapi soal ketajaman di depan gawang!
Mantan bomber ganas, Cristian Gonzales (El Loco), ikut bersuara. Ia menyoroti penyakit lama yang terus menghantui Tim Merah-Putih: krisis striker murni yang punya insting “lapar gol.” Mari kita bedah kritik pedas dari El Loco!
Produktivitas yang Memalukan di Era Modern

Skorbolaindonesia – Jika melihat catatan statistik, produktivitas gol Timnas memang memprihatinkan. Di era Shin Tae-yong (57 laga), rata-rata gol kita hanya 1,8 per pertandingan. Angka ini diikuti rata-rata kebobolan 1,3 gol per laga. Sementara itu, di era Kluivert, catatannya lebih buruk lagi: 11 gol dicetak dari 8 laga, berbanding 15 gol kebobolan. Ini artinya, Timnas nyaris kebobolan dua gol setiap pertandingan.
Padahal, Indonesia punya sejarah panjang mencetak striker murni mematikan. Kita pernah punya Ricky Yakob, Rochi Putiray, Kurniawan Dwi Yulianto, Bambang Pamungkas, hingga Gonzales sendiri. Kini, barisan ofensif diisi oleh nama-nama seperti Ole Romeny, Mauro Zjilstra, Ramadhan Sananta, dan Egy Maulana Vikri.
Kritik El Loco: Striker Selalu Lari ke Sayap!
Gonzales mengutarakan masalah inti Timnas saat ini. “Itu semua rata-rata enggak ada striker murni. Itu masalahnya ya,” terang El Loco. Ia melanjutkan, “Karena saya kemarin lihat mereka pasang striker tapi selalu ke kanan atau ke kiri. Di kotak penalti enggak ada siapa-siapa.”
Kritik ini menohok. Skuad Garuda memang banyak mengandalkan kecepatan winger (Ragnar, Egy, Miliano) atau kreativitas gelandang (Marselino, Thom Haye). Akibatnya, ketika umpan silang atau terobosan datang, kotak penalti sering kosong melompong. Timnas memiliki banyak pemain yang bagus saat dribbling dan build-up, tetapi tidak ada yang berani dan instinctive di dalam kotak 16 meter untuk menuntaskan peluang.
Akar Masalah: Regulasi Liga 1 Biang Keladinya
Cristian Carrasco, mantan bomber Liga Indonesia yang kini menjadi WNI, sangat sependapat dengan Gonzales. Namun, Carrasco melihat masalah ini lebih dalam. Menurutnya, langkanya striker murni di Timnas Indonesia tak lepas dari kebijakan atau regulasi PSSI perihal banjirnya pemain asing di kompetisi domestik.
“Masalahnya juga dari kompetisi dalam negeri kita untuk posisi striker murni selalu pakai pemain-pemain asing, enggak ada pemain lokal. Jadi susah buat pemain lokal masuk ke timnas untuk posisi striker murni,” ujar Carrasco. Secara logika, klub Liga 1 lebih memilih menggunakan kuota pemain asing untuk posisi striker (biasanya penyerang Brasil atau Eropa) karena mereka menjamin gol. Ini menutup ruang bagi striker lokal untuk berkembang dan mendapatkan jam terbang di posisi krusial tersebut.
Ole Romeny dan Marselino: Harapan Terbaik yang Tersisa
Meskipun demikian, Carrasco memberikan pujian kepada beberapa pemain ofensif yang ia nilai memiliki potensi besar. “Memang untuk posisi sayap kanan dan kiri sangat bagus karena punya kecepatan, tapi tidak untuk posisi striker murni. Ole Romeny menurut saya dia lebih bagus di belakang striker,” ujar Carrasco. Ia menambahkan, “Punya Marselino yang bisa luar biasa dalam dribbling dengan bola.”
Carrasco menilai Marselino dan Ole Romeny adalah pemain ofensif terbaik Timnas Indonesia saat ini. Faktanya, Ole Romeny adalah top scorer era Kluivert dengan tiga gol, membuktikan ketajamannya. Meski begitu, Ole Romeny lebih efektif sebagai second striker atau false nine yang menarik bek lawan keluar. Oleh karena itu, Timnas masih perlu mencari target man yang kuat menahan bola di dalam kotak penalti.
Panggilan Evaluasi: Beranikah PSSI Mengubah Regulasi?
Kritik dari dua legenda ini (Gonzales, striker naturalized dan Carrasco, striker asing yang jadi WNI) harus PSSI dengarkan sebagai evaluasi mendalam. Masalah striker murni adalah masalah struktural, bukan sekadar masalah individu pemain. Jika PSSI serius, mereka harus merevisi regulasi Liga 1. Misalnya, mereka bisa membatasi klub menggunakan striker asing atau mewajibkan satu striker lokal di starting eleven. Langkah ini akan memaksa klub mengembangkan bakat lokal.
Kluivert sudah pergi, tetapi lubang di lini serang Timnas tetap terbuka lebar. Tantangannya sekarang adalah menemukan pelatih baru yang mampu meracik formasi efektif untuk memaksimalkan skill gelandang cepat Indonesia. Terakhir, PSSI harus berinvestasi besar pada program pengembangan striker muda agar krisis “lapar gol” ini tidak terulang di Kualifikasi Piala Dunia 2030.
