Darurat Striker Lokal! Kenapa Daftar Top Skor BRI Liga 1 2025/26 Dikuasai Pemain Asing?

Waduh, Kemana Perginya Bomber Lokal Kita?

skorbolaindonesia – Halo Sobat Bola! Pertama-tama, sadar gak sih ada fenomena yang bikin kita agak worried di musim BRI Super League 2025/26 ini? Kompetisi memang sudah berjalan seru banget. Bahkan, total sudah ada 327 gol yang tercipta dari 124 pertandingan. Produktif banget, kan?

Namun, ada satu fakta pahit yang harus kita telan: Gak ada satupun nama pemain lokal yang nangkring di daftar 10 besar top skor sementara!

Sayangnya, daftar raja gol saat ini benar-benar dikuasai sama legiun asing. Dominasi pemain Brasil masih belum ada obatnya. Sebagai contoh, sebut saja Dalberto dari Arema FC dan Maxwell dari Persija Jakarta yang lagi gacor-gacornya di puncak dengan torehan masing-masing 10 gol.

Sebenarnya, ini lagu lama kaset kusut di sepak bola kita. Klub-klub Liga 1 memang lebih demen “jajan” striker asing yang siap pakai daripada ngasih panggung buat talenta lokal. Akibatnya, pemain depan kita jadi “kena mental”. Mereka gak cuma harus rebutan tempat di starting eleven, tapi juga susah buat mengejar setoran gol. Lama-kelamaan, nama-nama yang dulu kita harapkan jadi the next Boaz Solossa malah perlahan minggir.

Lantas, apa sih biang keroknya? Yuk, kita bedah bareng-bareng!

1. Persaingan “Berdarah-darah” Masuk Skuad Inti

Masuk tim inti saja susahnya minta ampun, apalagi mau cetak gol. Faktanya, pemain lokal harus sikut-sikutan sama pemain asing yang secara fisik dan pengalaman seringkali lebih unggul. Meskipun berhasil masuk Line-up, tuntutan buat langsung cetak gol itu gede banget.

Ambil contoh Hokky Caraka. Striker muda potensial ini memang sudah main di 12 laga musim ini. Akan tetapi, coba cek menit bermainnya. Dia jarang banget main full 90 menit karena seringnya diganti atau malah masuk dari bangku cadangan. Oleh sebab itu, keran golnya macet di angka dua atau tiga gol saja. Salah satunya pas lawan Persik Kediri (21/12) kemarin. Kesimpulannya, masalah konsistensi dan minimnya menit bermain inilah yang bikin Hokky susah mengejar Dalberto cs.

2. Transformasi Posisi: Dari Ujung Tombak Jadi Pelayan

Selain itu, faktor kedua yang gak kalah ngaruh adalah pergeseran posisi. Banyak striker murni lokal yang akhirnya “mengalah”. Akhirnya, mereka digeser jadi pemain sayap (winger) atau gelandang serang demi mengakomodasi striker asing.

Lihat saja Ezra Walian. Dulu dia dikenal sebagai target man, tapi sekarang di Persik Kediri dia lebih sering beroperasi melebar atau agak ke belakang. Tentunya, peran barunya ini bikin dia gak diwajibkan nyetak gol tiap minggu, tapi lebih ke membuka ruang.

Hasilnya? Di 12 laga, Ezra justru jadi raja assist lokal dengan 6 assist. Golnya ada 4, yang sebenarnya lumayan banget dan jadi yang tertinggi buat ukuran pemain lokal saat ini. Namun tetap saja, dia bukan lagi mesin gol utama.


Deep Dive: Akar Masalah Hilangnya “Taring” Garuda

Bagian ini adalah tambahan analisis mendalam yang diambil dari data dan tren sepak bola Indonesia untuk memperkaya wawasan kamu.

Masalah hilangnya striker lokal ini bukan kejadian semalam, Guys. Sebaliknya, ini adalah akumulasi dari berbagai faktor sistemik di sepak bola Indonesia selama bertahun-tahun. Mari kita bedah lebih dalam kenapa fenomena ini bisa terjadi dan apa dampaknya.

1. Regulasi Pemain Asing yang Semakin Longgar

Jika kita melihat data regulasi Liga 1 beberapa musim terakhir, kuota pemain asing terus bertambah. Di era Liga 1 2024/2025 saja, regulasi mengizinkan klub memiliki hingga 8 pemain asing (6 main di lapangan + 2 cadangan). Dampaknya, tren ini berlanjut membuat klub lebih pragmatis.

Mengapa klub lebih suka asing? Jawabannya adalah hasil instan. Berdasarkan data pasar transfer, mendatangkan striker asing (terutama dari Brasil atau Afrika) dianggap investasi yang lebih aman buat manajemen klub yang dituntut prestasi cepat. Mereka punya postur tubuh ideal (tinggi 185cm++), fisik badak, dan penyelesaian akhir yang matang. Sementara itu, striker lokal butuh waktu berkembang (development) yang seringkali gak dimiliki oleh pelatih karena ancaman pemecatan.

2. Krisis Kurikulum di Sekolah Sepak Bola (SSB)

Selanjutnya, kalau kita cari data soal pembinaan usia dini di Google, banyak pengamat sepak bola (seperti Coach Justin atau Bung Towel) sering menyoroti kesalahan kurikulum di level grassroot. Di SSB Indonesia, pemain yang punya badan paling gede dan lari paling kencang biasanya langsung ditaruh jadi striker. Mereka diajarkan mengandalkan fisik, bukan teknik atau positioning.

Akan tetapi, masalah muncul pas mereka masuk level profesional. Bek-bek asing di Liga 1 jauh lebih besar dan kuat. Striker lokal yang tadinya cuma modal “badan gede” di level junior, tiba-tiba mati kutu karena kalah duel fisik dan gak punya teknik off-the-ball yang mumpuni. Hal ini berbeda dengan striker Jepang atau Korea yang meskipun badannya gak raksasa, tapi pintar cari ruang kosong.

3. “Dosa” Masa Lalu: Minimnya Regenerasi

Mari kita flashback. Terakhir kali striker lokal jadi Top Skor Liga Indonesia itu kapan? Jawabannya sudah lama banget! Terakhir ada Boaz Solossa (Persipura) yang jadi top skor di ISL 2008/2009, 2010/2011, dan 2013. Sebelumnya, ada legenda Bambang Pamungkas.

Sayangnya, setelah era mereka, praktis gelar Sepatu Emas selalu jatuh ke tangan pemain asing: David da Silva, Marko Simic, Ilija Spasojevic (sebelum naturalisasi), hingga Matheus Pato. Bahkan, data statistik menunjukkan dalam 10 tahun terakhir, rata-rata gol striker lokal terbaik per musim hanya berkisar 10-12 gol, sementara top skor asing bisa tembus 25-30 gol. Gap-nya jauh banget, Bro!

4. Dampak Ngeri ke Timnas Indonesia

Tak pelak, efek domino dari liga ini langsung kerasa ke Timnas Indonesia asuhan Shin Tae-yong (STY). STY berkali-kali mengeluh soal sulitnya cari striker murni yang tajam.

  • Fakta Lapangan: Di berbagai ajang internasional, STY seringkali terpaksa memasang pemain sayap (seperti Rafael Struick) sebagai ujung tombak. Alasannya, stok Target Man lokal (seperti Dimas Drajad atau Hokky Caraka) jam terbangnya minim di liga.

  • Solusi Instan Timnas: Akhirnya, naturalisasi jadi jalan pintas. Kita butuh pemain keturunan yang dididik di Eropa karena liga lokal gagal memproduksi “The Next Bepe”.

5. Solusi: Regulasi U-23 atau Wajib Striker Lokal?

Sebelumnya, sempat ada wacana regulasi wajib mainkan pemain U-23, yang tujuannya bagus buat nambah jam terbang. Namun, posisi striker tetap sering “dikorbankan”.

Oleh karena itu, mungkin ke depannya PT LIB perlu memikirkan insentif khusus buat klub yang berani mainkan striker lokal sebagai starter. Kalau enggak, sampai 10 tahun lagi kita cuma bakal jadi penonton orang asing pesta gol di kandang sendiri.

Jadi, buat Hokky, Sananta, dan striker muda lainnya, please jangan menyerah! Liga memang kejam, tapi Timnas butuh kalian. Buktikan kalau lokal juga bisa gacor!

Citislots Pusatnya Slot Gacor dengan RTP terupdate