skorbolaindonesia – Musim 2024/2025 menjadi salah satu musim paling kelam dalam sejarah panjang Manchester United. Klub raksasa asal Old Trafford itu tak hanya gagal mencapai target di lapangan, tetapi juga mengalami guncangan besar di luar lapangan. Gagal tampil di kompetisi Eropa musim depan, merosotnya nilai saham, hingga mundurnya minat investor elite asal Qatar, menggambarkan masa suram yang sedang dialami oleh klub berjuluk “Setan Merah” tersebut.
Di tengah upaya rekonstruksi dan modernisasi klub pasca-akuisisi sebagian saham oleh INEOS, Manchester United justru semakin terpuruk. Tidak ada trofi utama, tidak ada tiket Liga Champions atau Liga Europa, dan yang lebih menyakitkan, mereka kehilangan daya tariknya di mata para investor global. Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan semua ini terjadi?
Gagal Total di Lapangan: Absen dari Kompetisi Eropa
Musim Premier League 2024/2025 berakhir dengan catatan yang mengecewakan bagi Manchester United. Tim asuhan Erik ten Hag hanya mampu finis di peringkat ke-8, terpaut jauh dari zona Liga Champions dan bahkan zona Liga Europa. Ini adalah posisi terburuk Manchester United dalam lebih dari satu dekade terakhir, dan menjadi bukti nyata stagnasi prestasi mereka.
Padahal, harapan sempat membuncah di awal musim ketika Setan Merah berhasil mendatangkan sejumlah pemain muda potensial serta menambah kekuatan di lini tengah dan lini belakang. Namun, cedera pemain, performa inkonsisten, hingga taktik yang dinilai mulai usang membuat Manchester United gagal bersaing dengan tim-tim papan atas seperti Manchester City, Arsenal, Liverpool, dan Aston Villa.
Kegagalan Manchester United mengamankan satu tiket pun ke kompetisi Eropa membuat mereka absen dari pentas kontinental untuk pertama kalinya sejak musim 2014/15. Ini merupakan pukulan telak, bukan hanya secara emosional bagi para penggemar, tetapi juga secara finansial.
Dampak Finansial: Saham Anjlok dan Kepercayaan Investor Luntur
Tak lama setelah dipastikan gagal tampil di Eropa, harga saham Manchester United yang terdaftar di Bursa Efek New York (NYSE) langsung merosot drastis. Dalam dua hari pasca pengumuman akhir musim, saham Manchester United dilaporkan turun lebih dari 18%, menyentuh titik terendah dalam lima tahun terakhir.
Penurunan ini bukan hanya disebabkan oleh hasil di lapangan, tetapi juga oleh keraguan pasar terhadap masa depan klub. Ketidakjelasan soal proyek jangka panjang, konflik internal antara pemilik lama (keluarga Glazer) dengan pihak INEOS, hingga belum adanya perubahan signifikan dalam manajemen membuat investor mempertanyakan arah kebijakan klub.
“Manchester United bukan hanya klub sepak bola, mereka adalah aset bisnis global. Ketika performa lapangan anjlok dan tidak ada kejelasan strategis dari manajemen, pasar akan bereaksi negatif,” ujar analis keuangan olahraga dari Bloomberg, James Holloway.
Gagal Menarik Minat Sultan Qatar
Salah satu episode besar yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah proses penawaran akuisisi klub oleh Sheikh Jassim bin Hamad Al Thani, sultan kaya raya dari Qatar yang juga ketua Qatar Islamic Bank. Pada tahun 2023, Sheikh Jassim mengajukan tawaran penuh untuk membeli 100% saham Manchester United dari keluarga Glazer.
Tawaran tersebut mencapai £5 miliar, dan mencakup pelunasan utang klub serta investasi tambahan untuk infrastruktur, stadion, dan akademi. Namun, negosiasi itu berakhir buntu. Glazer menolak menjual 100% kepemilikan dan hanya melepas sebagian saham ke pihak INEOS yang dipimpin oleh Sir Jim Ratcliffe.
Setelah menunggu hampir setahun, Sheikh Jassim memutuskan mundur dari negosiasi, dan sejak saat itu tidak menunjukkan minat untuk kembali. Kabar terbaru menyebut bahwa keluarga Al Thani kini tengah melirik klub-klub lain di Eropa, termasuk di La Liga dan Serie A.
“Manchester United kehilangan momentum emas untuk menjadi superklub finansial dengan dukungan penuh Timur Tengah. Ini bukan hanya kehilangan investor, tapi kehilangan visi dan daya saing global,” kata pakar transfer sepak bola, Gianluca Di Marzio.
Baca Juga:
- Xabi Alonso Kembali ke Santiago Bernabéu: Strategi Genius atau Risiko Besar?
- Membawa Napoli Juara Tidaklah Mudah!
Krisis Identitas di Dalam Klub
Masalah Manchester United tidak hanya bersifat eksternal. Di dalam klub sendiri terjadi krisis identitas dan arah pembangunan. Sejak kepergian Sir Alex Ferguson pada 2013, Manchester United sudah berganti pelatih lebih dari lima kali, dengan filosofi yang berbeda-beda.
Saat ini, Erik ten Hag masih menjadi manajer utama, namun posisinya terus digoyang oleh hasil buruk dan ketidakmampuan membentuk skuad yang konsisten. Kehadiran Sir Jim Ratcliffe dan tim INEOS sempat memunculkan harapan restrukturisasi, namun hingga akhir musim 2024/25 belum ada perubahan nyata yang terlihat di atas lapangan.
Beberapa bintang muda seperti Kobbie Mainoo dan Alejandro Garnacho memang menunjukkan potensi besar, namun secara kolektif, Manchester United terlihat tanpa arah permainan yang jelas. Mereka gagal menciptakan identitas permainan yang kuat, dan hanya bergantung pada momen individu.
Dampak ke Arah Masa Depan Klub
Absennya Manchester United dari Eropa tidak hanya berdampak pada finansial saat ini, tetapi juga ke masa depan mereka. Tanpa pemasukan dari Liga Champions atau Liga Europa, klub diprediksi kehilangan potensi pendapatan lebih dari £60 juta dari hak siar, sponsor, dan penjualan tiket.
Lebih dari itu, situasi ini membuat United sulit menarik pemain bintang di bursa transfer. Banyak pemain top enggan bergabung dengan klub yang tak bermain di kompetisi Eropa. Hal ini membuat proyek pembangunan skuad kembali terhambat.
Sponsor utama seperti TeamViewer dan Adidas juga dikabarkan tengah mengevaluasi ulang kontrak mereka jika performa klub terus menurun. Bahkan, beberapa sponsor menuntut renegosiasi nilai kontrak akibat eksposur global yang menurun.
Ketidakpastian Erik ten Hag
Salah satu pertanyaan besar yang menyelimuti Manchester United saat ini adalah: apakah Erik ten Hag akan dipertahankan? Meski sempat membawa United ke final FA Cup, hasil secara keseluruhan tetap jauh dari ekspektasi.
Manajemen INEOS dikabarkan tengah melakukan evaluasi menyeluruh dan mempertimbangkan beberapa nama baru, termasuk Thomas Tuchel, Roberto De Zerbi, dan bahkan Zinedine Zidane. Namun hingga kini, belum ada keputusan resmi.
Ten Hag sendiri menyatakan ingin bertahan dan melanjutkan proyeknya, namun hasil yang mengecewakan membuat posisinya sangat rentan. Di mata fans, kepercayaan terhadapnya pun mulai terpecah.
Dukungan Fans Mulai Terkikis
Manchester United dikenal memiliki basis fans terbesar di dunia, namun kesabaran fans kini semakin menipis. Kampanye di media sosial dengan tagar seperti #GlazersOut dan #TenHagOut kembali ramai. Banyak fans menuntut perubahan nyata, bukan hanya janji manis manajemen.
Protes suporter juga terlihat dalam laga-laga kandang di Old Trafford. Dengan spanduk dan yel-yel mengecam pemilik klub dan arah kebijakan manajemen. Ketika loyalitas fans mulai tergoyahkan, itu menjadi pertanda serius bagi masa depan klub.
Titik Terendah atau Awal Kebangkitan?
Manchester United saat ini berada di persimpangan jalan. Mereka tengah mengalami kombinasi dari krisis prestasi, krisis finansial, hingga krisis identitas. Gagal tampil di Eropa bukan hanya soal harga diri, tapi juga potensi kehancuran fondasi finansial dan daya tarik global klub.
Harga saham anjlok, sultan Qatar mundur, dan para fans kehilangan harapan. Situasi ini menuntut langkah besar dan berani dari manajemen klub. Entah itu revolusi di struktur organisasi, perombakan tim pelatih, atau strategi rekrutmen jangka panjang.
Kini, yang menjadi pertanyaan besar: apakah Manchester United bisa bangkit dari keterpurukan ini. Atau justru semakin terjerumus dalam masa suram yang lebih panjang? Hanya waktu yang bisa menjawab, namun yang pasti, klub sebesar United tidak bisa terus hidup dari bayang-bayang masa lalu.